Kamis, 11 November 2010

bangsa yang merusak dirinya sendiri


Mejadi sehat tidaklah sulit, kita sendirilah yang membuatnya sulit, contohnya saja dari makanan. Ciri- ciri dasar makanan yang sehat sangat simpel, sebenarnya makanan pokok yang kita butuhkan dalam memenuhi karbohidrat-sumber gizi yang paling diutamakan- bisa didapatkan dari padi-padian, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Namun perlu diperhatikan hal-hal berikut: 1)makanan tersebut harus alami, dimana tidak terdapat kondisi yang diubah-ubah, 2) makanan tersebut harus utuh, lengkap, tidak terpecah-pecah, tidak disuling dan tidak pula diperkaya, 3) makanan harus bebas racun, yang ditumbuhkan secara organik, bebas dari sisa maupun tambahan kimia yang beracun. Persyaratan ini amat sederhana, namun mengapa seakan amat sulit untuk memenuhinya?

Obsesi pertumbuhan ekonomi sedang gencar-gencarnya dilakukan oleh negara kita, namun sayang kadang obsesi ini tak dipenuhi dengan kesadaran betapa butuhnya rakyat kita akan diet yang baik. Sungguh tragis menyadari bahwa bahaya- bahaya kesehatan yang timbul itu diciptakan oleh proses ekonomi dengan proses produksi yang mengesampingkan kualitas bagi konsumen.  Untuk meningkatkan keuntungan mereka pada pasar yang lesu, para pengusaha berinisiatif untuk menghasilkan barang-barang yang lebih murah dan menarik, dan salah satu dampak dari usahanya adalah dengan menurunkan kualitas produksinya. Untuk menarik dan memuaskan konsumen, walaupun barang berkualitas rendah, produsen menghabiskan uang dalam jumlah yang besar untuk membentuk opini konsumen melalui media periklanan. Lihat saja betapa bertebarnya iklan di televisi akan produk-produk jajanan kemasan untuk anak-anak dengan harga amat terjangkau dan tentunya dengan bentuk, warna dan rasa yang amat menarik bagi anak-anak, namun bagaimana dengan gizi mereka? Bagaimana kita bisa memastikan anak-anak kita akan tetap memilih memakan makanan sehat dari rumah dibanding produk tersebut? Dan anak-anak tersebut hanyalah korban dari obsesi ekonomi, sungguh tragis.

Kita telah tunduk pada serangan-serangan komersial “makanan sampah” yang terasa amat manis, berkadar lemak tinggi dan tentunya membahayakan tubuh kita. Pada suatu penelitian di amerika yang menganalisis periklanan dari perusahaan makanan-makanan di televisi menemukan bahwa pada hari-hari biasa ditemukan adanya iklan tentang makanan yang memberi dampak negatif bagi kesehatan sedikitnya 70% dari seluruh iklan, dan pada akhir pekan sebanyak 85%. Sepertinya ini tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di negara kita, namun bedanya di amerika masih banyak orang yang concern  tentang hal ini dan berusaha mengubahnya, sedangkan disini jangankan mengubahnya, badan yang menganalisis tentang hal ini bahkan sepertinya tidak ada, kalaupun ada tampaknya nyaris tak pernah terdengar gerak-geriknya.

Bagi sejumlah besar orang, masalah seputar diet tampak semakin menuju ke arah yang mengkhawatirkan, dan ini juga semakin dipersulit dengan adanya penggunaan obat-obatan yang berlebihan, baik yang bersifat medis maupun non medis. Di amerika serikat saja aspirin dikonsumsi sebanyak 20.000 ton pertahun, yang kira-kira mencapai 225 tablet per orang. Apalagi dengan yang terjadi di negara kita dimana masih banyak terjadi shot gun therapy yang sayangnya dilakukan oleh dokter kita sendiri, banyaknya obat dengan resep dokter yang terjual bebas di apotik, dan (sekali lagi) sayangnya ini semua tidak pernah terhitung jumlahnya, mungkin saja jumlah ini bisa mengalahkan 20.000 ton aspirin amerika. Mungkin bisa dijadikan kategori juga untuk dimasukan ke MURI. Dan memang persoalan terbesar saat ini adalah benyaknya pemberian resep yang berlebihan. Penjualannya meningkat hingga mencapai angka yang belum tercapai sebelumnya, terutama dalam 20 tahun terakhir, dengan peningkatan paling kuat terjadi pada obat-obat psikoaktif-obat penenang, obat bius, obat perangsang, dan obat antidepresi.

Ada terlalu banyak masalah yang dihadapi negara kita. Mungkin disamping memikirkan orang-orang yang tertimpa musibah, ada baiknya kita memikirkan tubuh kita yang sedang dirusak perlahan-lahan dengan makanan yang kita pilih sendiri. Serta bagi para produsen jangan sampai kita merusak generasi-generasi berikutnya hanya karena mencari keuntungan ekonomi semata, sebagai negara berkembang tentunya kita perlu berpikir bagaimana agar negara kita bisa berkembang, bukan hanya perut kita sendiri yang berkembang.


Referensi: Fritjof Capra, titik balik peradaban

Senin, 08 November 2010

neokapitalisme obat,mungkinkah?



Globalisme merupakan hal yang mungkin paling dikejar-kejar di Indonesia saat ini. Tentunya seperti yang telah diketahui bahwa hal ini bisa membawa dampak baik maupun buruk, namun sayang hingga saat ini dampak buruklah yang terlihat jelas bila dilihat dari sudut pandang rakyat. Sebagai negara berkembang dengan penuh lilitan hutang, tentunya Indonesia tak perlu dihitung oleh para kapitalis untuk mengivestasikan usahanya. Namun yang terjadi justru sebaliknya, mengapa? Justru karena status kita sebagai Negara berkembanglah penyebabnya, ada terlalu banyak peluang investasi tanpa regulasi ketat untuk pengusaha luar. Lihat saja bagaimana dalam ibukota kita dimana terdapat ratusan orang sangat miskin, namun sebaliknya mobil termewah didunia pun ada juga di kota ini. Dimana banyak sekali perusakan rumah tanpa surat disertai dengan apartemen yang tak kalah mewah dibanding di singapura. Inilah contoh bodoh yang bodohnya pula justru dibanggakan oleh orang kita sendiri. Banggakah kita tertawa menginjak muka orang setanah air kita sendiri?

Contoh konkrit adalah Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1994 tentang investasi masyarakat akan diperbolehkannya kepemilikan saham 100% penanam modal asing. Ini jelas-jelas sebuah lubang besar yang tak pernah ditutup oleh pemerintah. Tentunya perusahaan asing dengan modal super besar akan menginjak perusahaan dalam negeri hingga tak lagi mampu bersaing, dan bukan tak mungkin pula akan membuat rakyat kita sendiri justru lebih mempercayai produk luar dibanding dalam negeri. Bukan berarti saya pesimis ataupun takut bersaing dengan perusahaan luar, namun kekuatan yang terlalu jauh dan tekanan kepada rakyat kecil sebagai kontraproduktif perdagangan bebas membuat perusahaan dalam negeri semakin terpuruk.

Secara tak sadar dunia kedokteran pun terpleset ke dalam kurang ini, dan lubang terbesar yang dijadikan proyek oleh para penjahat ekonomi ini adalah dari segi obat. Banyak sekali contoh dokter-dokter bodoh pencari harta yang mau saja disuap oleh perusahaan obat asing untuk meresepkan obatnya kepada pasien. Ibaratnya adalah seperti kuda kelaparan yang diumpankan wortel tepat didepan mukanya, hingga kuda itupun lari tanpa arah dan terus mengeluarkan liurnya. Tanpa sadar sang dokter sudah membantu menanam kuku perusahaan asing semakin dalam ke tanah Indonesia dan memperpuruk perusahaan negeri, padahal jelas-jelas obat generiklah yang paling efisien dan diperlukan oleh rakyat kita.

Mari buang jauh-jauh pikiran bahwa dokter itu seharusnya kaya dan mapan dalam pikiran kita. Indonesia masih terlalu butuh kejujuran dan ketulusan kita dibanding sejulah uang yang ditawarkan perusahaan obat asing, serta mari perkuat berdirinya perusahaan obat dalam negeri, bila bukan dokter Indonesia yang melakukannya, maka siapa lagi?

Jumat, 05 November 2010

obatku, racunku..

Sebenarnya obat adalah racun, dosis dan cara pemakaiannyalah yang membuatnya dapat mengobati penyakit, karena berhati-hatilah memakai obat.

Masih tentang obat. Siapa yang belum pernah meminum obat? Suka maupun tak suka, saat sakit kita akan meminum obat. namun jika melihat pernyataan diatas, siapa yang tidak takut?
Secara harfiah obat berarti substansi kimia yang berefek pada proses tubuh maupun jiwa, atau bila diartikan dalam ilmu kedokteran berarti bahan kimia yang diberikan pada manusia ataupun hewan sebagai penyembuh dari diagnosis atau prevensi dari penyakit atau kondisi abnormal. Untuk meringankan rasa sakit ataupun penderitaan, atau untuk mengontrol dan memperbaiki kondisi fisiologis maupun patologis.
Jika sudah mengerti definisinya, maka yakinkah anda untuk tetap rutin mengosumsi obat? Apakah anda berpikir bahwa obat dapat membuat anda sehat? Sekarang saya meminta anda untuk sekali lagi melihat pada kalimat paling atas, lalu lihatlah daftar dibawah ini:
1. R/ Bufect susp 60 ml
2. R/ Luminal 50 mg tab
3. R/ Nalgestan tab
4. R/ Mucohexin 8 mg tab
5. R/ Kenacort 4 mg tab
6. R/ Codein 20 mg tab
7. R/ Lasal 4 mg tab
8. R/ Etaphylline 250 mg tab
9. R/ Lapicef 500 mg cap
10. R/ Curvit CL emulsion 175 ml
11. R/ Pankreoflat tab
12. R/ Cobazin cap 1000 mcg
13. R/ Lysagor tab
Kumpulan resep ini saya dapatkan dari guru besar saya Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, M.Med.Sc., Ph.D yang mengajarkan tentang obat, beliau menyebutkan bahwa ketiga belas obat tersebut diberikan oleh seorang dokter kepada satu orang pasien. Pada dasarnya mekanisme kerja obat itu terdiri dari 3 bagian besar, yaitu 1)absorbsi melalui usus, 2) metabolism dan detoksifikasi oleh hati, dan 3) ekskresi oleh ginjal. Sekarang dapatkah anda bayangkan betapa tubuh pasien yang diberi 13 obat tersebut akan bekerja amat sangat keras untuk memetabolisme obat-obat tersebut? Tahukah anda bahwa hati dan ginjal harus bekerja keras untuk “mengurusi” 1 obat saja? Lalu dokter macam apakah yang tega merusak pasiennya seperti ini?
Prinsip dari dokter dalam mengobati pasien adalah dengan menentukan diagnosis penyakit dari berbagai keluhan yang disebutkan pasien dan menentukan obat yang menyembuhkan penyakit tersebut, tentunya dengan dosis dan pemakaian yang tepat. Namun kenyataanya di lapangan, banyak sekali dokter yang memberikan resep obat sesuai dengan keluhannya saja, bukan diagnosisnya, misalnya adalah bila pasien mengeluhkan banyak symptom seperti batuk, tenggorokan gatal, hidung tersumbat, nyeri kepala, dan diare, lalu dokter memberikan obat untuk masing-masing symptom, maka pasien harus menanggung beban berat hati dan ginjalnya untuk memetabolisme, interaksi antar obat yang bisa saja saling kontraindikasi, reaksi alergi yang mungkin terlupakan oleh dokter, efek samping dari masing-masing obat, waktu paruh efek kerja obat dalam tubuh, serta biaya yang belum tentu terjangkau oleh pasien, dan semua itu seharusnya dipikirkan benar-benar oleh dokter dalam sesi pertemuannya dengan pasien sebelum member resep obat. Pertanyaannya, pernahkah anda diberikan resep begitu banyak oleh dokter tanpa dokter tersebut benar-benar memeriksa anda? Saya yakin masih banyak sekali dokter yang merusak pasiennya seperti ini, karena itu merupakan kewajiban saya untuk mengingatkan anda, serta kewajiban anda juga untuk pandai-pandai menjaga diri dan keluarga anda. Hiduplah dengan sehat tanpa obat, bukan menyehatkan diri dengan obat.

Senin, 01 November 2010

obat mahal lebih baik??

Tentunya kita semua sebagai makhluk yang “pasti pernah sakit” ingin mendapat perlakuan dan pengobatan yang terbaik dan tepat, dan itu semua dipercayakan kepada dokter. Dokter tidak hanya dianggap sebagai orang yang berprofesi menyembuhkan dan mencegah penyakit, namun kadang dianggap juga sebagai tokoh masyarakat. Mereka benar-benar percaya, patuh, dan hormat pada tiap kata-kata yang terlontar dari dokter, dan itu semua adalah fakta yang belum hilang dan masih berjalan sampai sekarang. Salah seorang dosen saya bahkan pernah berkata bahwa dokter itu kebal hukum, karena fakta di masyarakat adalah pasien dan keluarganya benar-benar berterima kasih atas jasa dokter, bahkan walaupun sang dokter telah gagal mengobati pasien, atau justru memperburuk dan memperparah keadaan. Seakan menyalahkan dan menuntut dokter itu adalah hal yang mustahil, karena dialah orang berjasa menyelamatkan nyawa dan taraf hidup manusia. Masalahnya adalah benarkah tiap dokter seperti itu? Benarkah mereka benar-benar berusaha sekuat tenaga dan sepenuh hati menolong sesama?
Saat saya sedang berjaga dangan salah satu dosen saya yang tentunya juga dokter, salah seorang pasien di praktek beliau pernah bertanya kepada dosen saya mengapa obat yang diresepkan dosen saya itu mahal, dosen saya justru menjawab “Nek ra larang yo ora mari-mari bu!”(Kalau tidak mahal ya tidak sembuh-sembuh bu!), saya benar-benar tersentak saat itu, karena saya tahu bahwa obat yang diberikan adalah obat paten dengan harga mahal, dan tidak ada sulitnya bagi dosen saya itu untuk menjelaskan ataupun menawarkan obat generik yang harganya jauh dibawah harga obat paten tersebut, namun karena saya hanya murid dan tidak ingin menjelekan dosen saya didepan pasiennya maka saya memilih tutup mulut, dan saya sadar bahwa saat itu saya secara tidak langsung menjadi orang munafik yang hanya berani bicara dibelakang.
Dokter tidak pernah lepas dari obat, dokterlah yang berwenang menentukan obat bagi para pasiennya, dan sebagian besar pasien pasti menurut apapun yang diputuskan sang dokter, apapun! baik itu terjangkau ataupun tidak bagi si pasien.
Pernahkah anda mendapat lebih dari 3 jenis obat dari resep dokter? Tahukah anda untuk apa saja obat itu? Bertanyakah anda kepada sang dokter apa saja obat yang diberikan dan apa saja kegunaannya? Bila ya, maukah sang dokter menjelaskan panjang lebar tentang masing-masing fungsinya, cara minumnya, kontra indikasinya, dll? Itu adalah hak pasien! Anda berhak mengetahui dan menentukan obat apa saja yang anda terima, sayangnya yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya.
Tentunya anda pernah mengalami demam dan menerima obat antibiotik dari dokter, berapa harga yang harus anda keluarkan untuk membeli obat tersebut? bertanyakah anda ke dokter? Saya menanyakan ini kepada anda para calon dan mantan pasien karena saya tidak ingin anda sampai tertipu. Saya akan memberi contoh obat antibiotik ciprofloxacin, obat ini adalah antibiotic broad spectrum yang bisa membunuh banyak bakteri penyakit, dan tahukah anda berapa harga obat ini? sebutir harganya adalah Rp. 300,-, dan tahukah anda berapa harga yang paten? Sangat bervariasi, mulai dari Rp. 1000; Rp. 1500; Rp. 3000; Rp. 5000; Rp. 10.000; Rp. 15.000; bahkan Rp. 30.000, itu hanya sebutir. Sebagai orang awam tentunya kita berpikir yang lebih mahal tentu lebih baik bukan? Saat ini saya ingin menjelaskan bahwa isi dan fungsi dari obat itu adalah SAMA. Dan bila dokter anda berkata bahwa obat paten itu bisa menyembuhkan lebih baik, itu adalah kebohongan besar, karena hasil yang muncul tidaklah jauh berbeda. Obat paten itu bisa mencapai berkali-kali lipat harga generik adalah karena brand mereka. Lalu mengapa dokter harus meresepkan obat paten? Salah satu sebabnya adalah karena “kenakalan” kerjasama antara perusahaan obat paten tersebut dan dokter yang ditawari, sebagai gantinya dokter yang meresepkan obat mereka akan mendapat imbalan sejumlah uang yang tentunya tidak sedikit ataupun berbentuk barang bernilai mahal. Sebenarnya terdapat peraturan yang mengatur seputar kerjasama antara perusahaan obat dan dokter agar tidak sampai merugikan pasien, namun peraturan ini cukup sulit dideteksi bila ada yang melanggar, ini disebabkan oleh terlalu banyaknya perusahaan obat dan dokter yang bekerjasama dan hampir tidak mungkin memeriksa semuanya.
Saya menyimpulkan ada yang salah dengan dunia medis sejak dulu hingga sekarang, baik dari segi dokter yang dengan bebas memilihkan obat bagi pasiennya, ataupun dari segi pasien yang menurut saja dengan obat apa yang dipilih dokternya karena ketidak tahuan mereka. Sistem ini perlu diatur dan dipertegas, karena hal ini dapat memperpuruk bangsa kita yang makin miskin serta merusak citra dokter sebagai tokoh masyarakat.